TUGAS 8
A. Pengertian, Teori dan Bentuk Perubahan Sosial
Setiap saat masyarakat selalu mengalami perubahan. Jika dibandingkan
apa yang tejadi saat ini dengan beberapa tahun yang lalu. Maka akan
banyak ditemukan perubahan baik yang direncanakan atau tidak, kecil atau
besar, serta cepat atau lambat. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan sosial yang ada. Dimana
manusia selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Oleh karena
itu manusia selalu mencari sesuatu agar hidupnya lebih baik.
Sebagai contoh kasus, dahulu keluarga sepenuhnya berfungsi sebagai
tempat perlindungan bagi anak-anak yang belum dewasa, sumber pengetahuan
(pendidikan) dan keterampilan serta sumber ekonomi. Namun, pada masa
sekarang, fungsi keluarga mengalami perubahan. Anak-anak tidak hanya
memperoleh pengetahuan dari keluarga, tetapi juga melalui berbagai media
massa, seperti televisi, radio, koran dan internet.
1. Pengertian Perubahan Sosial
Ada beberapa ahli sosiologi yang memberikan definisi perubahan sosial, antara lain.
a. J.L Gillin dan J.P Gillin
Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang diterima,
akibat adanya perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
kompoisisi penduduk, ideologi, maupun karena difusi dan penemuan baru
dalam masyarakat.
b. Kingsley Davis
Mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi
dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya
pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan
perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan
seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan
politik.
c. William F Ogburn
Mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang
ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material
terhadap unsur-unsur immaterial.
d. Selo Soemardjan
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
e. Samuel Koening
Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang yang terjadi
dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern
maupun sebab-sebab ekstern.
f. Mac Iver
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan
lembaga sosial masyarakat. Perubahan sosial meliputi perubahan dalam
berbagai hal, seperti perubahan teknologi, perilaku, sistem sosial dan
norma. Perubahan tersebut mempengaruhi individu dalam masyarakat
tertentu.
2. Teori-teori Perubahan Sosial
a. Hukum Tiga Tahap (Auguste Comte)
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan
evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis
abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap
utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan:
teologis, metafisik dan positif.
Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan
kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda:
teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif.
Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya,
menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda
malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada
dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan
yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar
manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari
segala akibat (pengetahuan absolut) mengandaikan bahwa semua gejala
dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase
metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama,
akal budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan
kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada
semua benda (abstraktsi-abstaksi yang dipersonifikasikan), dan yang
mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase
positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap
pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta
sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang
hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang
tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat,
merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah
bahwa kita akan menjelaskan suatu gejala alam seperti angin taufan.
Dalam tahap teologis, gejala serupa itu akan dijelaskan sebagai hasil
tindakan langsung dari seorang Dewa angin atau Tuhan. Dalam tahap
metafisik gejala yang sama itu akan dijelaskan sebagai manifestasi dari
suatu hukum alam yang tidak dapat diubah. Dalam tahap positif angin
taufan itu akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu
dari tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembaban, dan suhu –
semua variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan
berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah
manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke
dalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk
pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan
bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal
supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus
mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju,
kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu
Yang Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak
tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis
dan positif. tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum
alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Gagasan bahwa ada
kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan
sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir
metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai
sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara
sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu
keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan
dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting seperti dalam
periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa
rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk
memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas
empiris daripada kemutlakan metafisik.
b. Teori Siklus Pitirim Sorokin
Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada
munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus
perubahan sosial; artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung
berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa
membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini
tidak sekedar pelipat gandaan saja; sebaliknya ada banyak variasi dalam
bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas
dinyatakan.
Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang
kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada
beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan
budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-berubah”. Penekanan
Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak
gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses
linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja; dalam hal ini Sorokin
berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam
perkembangan intelektual manusia.
Tipe-tipe Mentalitas Budaya
Menurut Sorokin, kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang
terintegrasi adalah mentalitas budaya-nya. Konsep ini mengacu pada
pandangan dunia (world view) dasar yang merupakan landasan sistem
sosio-budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem sosio-budaya
merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat
kenyataan terakhir (merupakan pertanyaan tentang apakah ada kehidupan
lain setelah kehidupan di dunia). Ada tiga jawaban logis yang mungkin
terhadap pertanyaan filosofis dasar itu.
• Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya dari dunia materil
yang kita alami dengan indera (tidak ada kehidupan lain setelah dunia).
• Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia
atau tingat keberadaan yang melampaui dunia materil ini: artinya
kenyataan akhir itu bersifat transenden (gaib) dan tidak dapat ditangkap
sepenuhnya dengan indera kita.
• Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan
itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia
materil dan dunia transenden.
Sehubungan dengan pertanyaan ini ada beberapa pertanyaan tambahan
yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan ini harus mencakup apakah
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual;
luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi; dan apakah pemenuhan
kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri (sehingga
kebutuhan itu sendiri dikurangi) atau penyesuaian lingkungan (sehinggat
kebutuhan itu dapat dipenuhi).
Atas dasar itu, Sorokin menyebutan tiga mentalitas budaya dan beberapa
tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem
sosio-budaya yang berbeda-beda itu.
1) Kebudayaan Ideasional
Tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu
bersifat nonmateril, transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera.
Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementera dan tergantung pada
dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan
tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Ilahi, atau suatu
konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini
dipecah kedalam beberapa bagian:
a) Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu
ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan
materil manusia supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden
b) Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan
inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan
dunia transenden
2) Kebudayaan Inderawi (sensate culture)
Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita
alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada.
Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi
sebagai berikut:
a) Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan
giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil
dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan
sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari
pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.
b) Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat
untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya.
Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi
parasit”, dengan motto, “makan, minum dan kawinlah, karena besok kita
mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka
panjang apa pun.
c) Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas
ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar
tujuan-tujuan inderawi/jasmaniah dibenarkan oleh rasionalisasi
ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara
mendasar usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan
pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem
nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.
3) Kebudayaan campuran
Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis)
mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat
dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:
a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran
organis dari mentalitas ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat
dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek
tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua
tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan.
b. Kebudayaan ideasional tiruan (Pseudo ideasional culture). Tipe ini
khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur
ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu
perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua
perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara
sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.
c. Teori Cultural Lag William F Ogburn
Konsep ketertinggalan budaya (Cultural lag) dikemukakan oleh William F
Ogburn. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan
sosial dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag
behind) perubahan dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa
perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan
materil dan nonmateril.
Jelas hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn,
segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam
kebudayaan materil, termasuk penemuan-penemuan dan perkembangan
teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam
bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia sebagai rangsangan utama
untuk perubahan sosial, di mana perubahan dalam kebudayaan materil
mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan nonmateril.
Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan
materil. Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan
awal seperti roda dan perkakas sampai ke komputer dan satelit-satelit
komunikasi. Kebudayaan nonmateril seperti – kebiasaan, tata cara, pola
organisasi sosial – akhirnya harus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil tetapi karena adanya
pelbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian itu selalu
ketinggalan di belakang perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil.
Hasilnya adalah ketegangan antara kebudayaan materil dan kebudayaan
nonmateril.
Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa
ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat
karena datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus-menerus pada
perkembangan teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu
“mengejar”, karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil
terus-menerus melaju. Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus
meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan
nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat ditelusuri pada
kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional untuk
mengikuti kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.
3. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial
a. Perubahan Lambat dan perubahan cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan
perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat dinamakan evolusi.
Perubahan pada evolusi terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan
kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Ada bermacam-macam teori tentang evolusi, yang pada umumnya dapat
digolongkan ke dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1) Unilinear theories of evolution
Teori ini pada pokoknya berpendapat bahwa manusia dan masyarakat
(termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan
tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk yang sederhana, kemudian
bentuk yang kompleks sampai pada tahap yang sempurna. Pelopor teori ini
adalah Auguste Comte.
2) Universal theory of evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidaklah perlu
melalui tahap-tahap tertetu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa
kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
Prinsip-prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer yang antara
lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari
kelompok homogen ke kelompok yang heterogen baik sifat maupun
susunannya.
3) Multilinier theories of evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap
tahap-tahap pekembangan tertentu dalam evolusi masyarakat, misalnya,
mengadakan penelitian perihal pengaruh perubahan sistem pencaharian dari
sistem berburu ke pertanian, terhadap sistem kekeluargaan dalam
masyarakat yang bersangkutan dan seterusnya
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat
dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat
(yaitu lembaga-lembaga kemasyarakat) dinamakan revolusi. Unsur-unsur
pokok revolusi adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut
mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat. Di
dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan
terlebih dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan
yang dinakan revolusi, sebenarnya bersifat relatif karena revolusi dapat
memakan waktu yang lama.
Misalnya revolusi industri di Inggris, di mana perubahan-perubahan
terjadi dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi
menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat karena mengubah
sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti sistem kekeluargaan,
hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya.
b. Perubahan kecil dan perubahan besar
Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas
karena batas-batas pembedaannya agak relatif. Sebagai pegangan dapatlah
dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil merupakan perubahan-perubahan
yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa
pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian
misalnya, tak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat secara
keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya proses industrialisasi yang
berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya merupakan perubahan yang
akan membawa pengaruh besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga
kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja, sistem
milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi masyarakat dan
seterusnya.
c. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang
diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh
pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.
Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu
seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat
sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam
melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam
tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan
pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di
bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut. Cara-cara
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan perencanaan sosial (social planning).
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki,
berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat
menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan
masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut
berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan
tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang besarnya terhadap
perubahan-perubahan yang dikehendaki. Dengan demikian, keadaan tersebut
tidak mungkin diubah tanpa mendapat halangan-halangan dari masyarakat
itu sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan yang dikehendaki diterima
oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada atau dengan cara membentuk yang
baru. Sering kali terjadi perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan
perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling
mempengaruhi.
d. Perubahan Progres dan Perubahan Regres
Perubahan progres yaitu perubahan yang membawa kemajuan bagi masyarakat.
Perubahan ini akan membawa keberuntungan terhadap kehidupan masyarakat
yang mengalami perubahan tersebut. Misalnya dengan adanya listrik masuk
desa, maka banyak terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat baik
dalam bidang transportasi, komunikasi, hiburan, kemajuan ekonomi, dan
sebagainya.
Perubahan regres, yaitu perubahan yang membawa pengaruh kurang
menguntungkan bagi masyarakat sehubngan dengan bidang-bidang tertentu.
Misalnya, perubahan dalam sistem komunikasi di desa akan mengakibatkan
berkurangnya intensitas hubungan masyarakat.
B. Faktor Penyebab Perubahan Sosial
Terjadinya perubahan dalam masyarakat, pada prinsipnya berasal dari
sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dan mudah bosan dengan
keadaan yang dialaminya. Perubahan sosial dapat disebabkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendri (internal)
atau faktor-faktor yang berasl dari luar masyarakat (eksternal).
1. Faktor Internal
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk
Pertambahan penduduk yang sangat cepat di pulau Jawa menyebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga
kemasyarakatannya. Misalnya orang lantas mengenal hak milik individu
atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan seterusnya yang
sebelumnya tidak dikenal.
Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa
ke kota atau dari daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi).
Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya dalam bidang
pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang mempengaruhi
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
b. Penemuan-penemuan baru
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam
jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi atau
innovation. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur
kebudayaan baru yang tersebar ke lain-lain bagian masyarakat, dan
cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya
dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan
dapat dibedakan menjadi discovery dan invention. Discovery adalah
penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang
berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian
ciptaan para individu. Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat
sudah mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru itu. Sering
kali proses dari discovery sampai ke invention membutuhkan suatu
rangkaian penciptaan. Penemuan mobil, misalnya, dimulai dari usaha
seorang Austria, yaitu S. Marcus (1857) yang membuat motor gas yang
pertama. Sebetulnya sistem motor gas tersebut juga merupakan suatu hasil
dari rangkaian ide yang telah dikembangkan sebelum Marcus. Sungguhpun
demikian, Marcuslah yang telah membulatkan penemuan tesebut, dan yang
untuk pertama kali menghubungkan motor gas dengan sebuah kereta sehingga
dapat berjalan tanpa ditarik seekor kuda. Itulah saatnya mobil menjadi
suatu discovery.
Jadi, 30 tahun kemudian sesudah suatu rangkaian sumbangan dari sekian
banyak pencipta lain yang menambah perbaikan mobil tersebut, barulah
sebuah mobil dapat mencapai suatu bentuk sehingga dapat dipakai sebagai
alat pengangkutan oleh manusia dengan cukup praktis dan aman. Bentuk
mobil semacam itu yang mendapat paten di Amerika Serikat 1911 dapat
disebut sebagai permulaan dari kendaraan mobil yang pada masa sekarang
menjadi salah satu alat yang amat penting dalam kehidupan masyarakat
manusia. Dengan tercapainya bentuk tersebut, kendaraan mobil menjadi
suatu invention.
Pada saat menjadi invention, proses inovasi belum selesai. Sungguhpun
kira-kira sesudah 1911 produksi mobil dimulai, mobil masih belum
dikenal oleh seluruh masyarakat. Penyebaran alat pengangkutan tersebut
masih harus disebarluaskan kepada khalayak ramai. Selain itu biaya
produksi mobil demikian tingginya sehingga hanya suatu golongan kecil
saja yang dapat membelinya. Satu persoalan lain yang juga harus dihadapi
adalah apakah masyarakat sudah siap menerimanya karena misalnya
diperlukan pembuatan jalan-jalan raya yang baru. Seluruh proses tersebut
merupakan rangkaian proses inovasi dari sebuah mobil.
Penemuan-penemuan baru dalam kebudayaan jasmaniah atau kebendaan
menunjukkan adanya berbagai macam pengaruh pada masyarakat.
Pertama-tama, pengaruh suatu penemuan baru tidak hanya terbatas pada
satu bidang tertentu saja, tetapi ia sering kali meluas ke bidang-bidang
yang lainnya. Misalnya penemuan radio menyebabkan perubahan-perubahan
dalam lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, agama, pemerintahan,
rekreasi dan seterusnya, seperti yang terlihat ada gambar berikut ini.
Kemungkinan lain adalah perubahan-perubahan yang menjalar dari satu
lembaga kemasyarakatan ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Penemuan baru kapal terbang membawa pengaruh pada metode peperangan,
yang kemudian kian memperdalam perbedaan antara negara-negara besar
dengan negara-negara kecil.
Beberapa jenis penemuan baru dapat pula mengakibatkan satu jenis
perubahan sebagai berikut. Misalnya penemuan mobil, kereta api, telepon
dan sebagainya menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di
daerah pinggiran kota yang dinamakan suburb.
c. Pertentangan (conflict) masyarakat
Pertentangan masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan
sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara
individu-individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan
didasarkan pada kepentingan masyarakat. Tidak jarang timbul pertentangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya.
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Revolusi yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut
terjadinya perubahan-perubahan besar Negara Rusia yang mula-mula
mempunyai bentuk kerajaan absolut berubah menjadi diktator proletariat
yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Segenap lembaga kemasyarakatan,
mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih, mengalami
perubahan-perubahan yang mendasar.
2. Faktor Eksternal
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada
sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain
sebagai berikut.
a. Lingkungan fisik
Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar
manusia. Terjadinya gempa bumi, topan, banjir dan lain-lain mungkin
menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut
terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya.
b. Peperangan
Peperangan selalu berdampak pada tingginya angka kematian, rusaknya
berbagai sarana dan prasarana kebutuhan hidup sehari, hari, terjadinya
kekacauan ekonomi dan sosial, serta tergoncangnya mental penduduk
sehingga merasa frustrasi dan tidak berdaya.
c. Pengaruh kebudayaan lain
Apabila sebab-sebab perubahan bersumber pada masyarakat lain, itu
mungkin terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan
pengaruhnya. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat
mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik.
Artinya, masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya,
tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain itu.
Namun apabila hubungan tersebut berjalan melalui alat-alat komunikasi
massa, ada kemungkinan pengaruh itu hanya datang dari satu pihak saja,
yaitu dari masyarakat pengguna alat-alat komunikasi tersebut. Sementara
itu, pihak lain hanya menerima pengaruh tanpa mempunyai kesempatan
memberikan pengaruh balik. Apabila pengaruh dari masyarakat tersebut
diterima tidak karena paksaan, hasilnya dinamakan demonstration effect.
Di dalam pertemuan dua kebudayaan tidak selalu akan terjadi proses
saling mempengaruhi. Kadangkala pertemuan dua kebudayaan yang seimbang
akan saling menolak. Keadaan semacam itu dinamakan cultural animosity.
Namun, apabila salah satu dari dua kebudayaan yang bertemu mempunyai
taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah proses
imitasi, yaitu peniruan terhadap unsur-unsur kebudayaan lain.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Perubahan Sosial
Perubahan sosial dan kebudayaan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tediri dari
faktor-faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat terjadinya
perubahan sosial.
1. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan
a. Kontak dengan kebudayaan lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi
adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada
individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan
proses tersebut, manusia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang
telah dihasilkan. Ada dua tipe difusi, yaitu pertama difusi
intramasyarakat dan kedua difusi antarmasyarakat. Sistem pendidikan
formal yang maju
Pendidikan memberikan aneka macam kemampuan kepada individu. Pendidikan
memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka
pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir
secara ilmiah.
b. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju
Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat, masyarakat merupakan pendorong bagi usaha-usaha penemuan baru.
c. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik
d. Sistem pelapisan sosial yang terbuka. Sistem terbuka memungkinkan
adanya gerak sosial vertikal yang luas atau berarti memberi kesempatan
kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri.
e. Penduduk yang heterogen.
f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
g. Orientasi ke masa depan.
h. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
2. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan
Adapun faktor-faktor yang menghambat tejadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup
g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis
h. Adat atau kebiasaan
i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
D. Proses-Proses Perubahan Sosial Dan Kebudayaan:
1. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium)
merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Keserasian
masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi.
Setiap kali terjadi gangguan terhadap keadaan keserasian, masyarakat
dapat menolaknya atau mengubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatannya
dengan maksud menerima unsur yang baru.
Adakala unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan
mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula
pada warga masyarakat. Itu berarti adanya gangguan yang kontinu terhadap
keserasian masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa
ketegangan-ketegangan serta kekecewaan di antara para warga tidak
mempunyai saluran pemecahan. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan
kembali setelah terjadi suatu perubahan, keadaan tersebut dinamakan
penyesuaian (adjusment). Bila sebaliknya yang terjadi, maka dinamakan
ketidakpenyesuaian sosial (maladjustment).
2. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (channel of change)
merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan.
Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama dan seterusnya.
Lembaga kemasyarakat yang menjadi titik tolak perubahan tergantung pada
cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian
tertinggi dari masyarakat cenderung menjadi saluran utama perubahan
sosial dan kebudayaan.
3. Disorganisasi (disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)
Disorganisasi atau disintegrasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses
pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Sementara itu, reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu proses
pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga
kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.
Adapun gejala-gejala yang menyebabkan disintegrasi sosial adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya persepsi atau persamaan pandangan di antara anggota
masyarakat yang semula dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat.
b. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik.
c. Ada pertentangan norma-norma dalam masyarakat.
d. Tidak ada sanksi yang tepat bagi pelanggar norma.
e. Tindakan-tindakan dalam masyarakat sudah tidak lagi sesuai dengan norma-norma masyarakat.
f. Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses sosial yang disosiatif.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai
yang baru telah melembaga dalam diri warga masyarakat. Berhasil atau
tidaknya proses pelembagaan tersebut dalam masyarakat mengikuti formula
sebagai berikut. Efektifitas menanam merupakan hasil positif penggunaan
tenaga manusia, alat, organisasi dan metode di dalam menanamkan lembaga
baru. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, alat-alat yang dipakai dan
sistem penanaman sesuai dengan kebudayaan masyarakat makin besar pula
hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu.
Akan tetapi, setiap usaha untuk menanam sesuatu unsur yang baru pasti
akan mengalami reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa
dirugikan. Kekuatan menentang masyarakat, itu mempunyai pengaruh negatif
terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan. Dengan demikian,
jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan
menentang masyarakat besar, kemungkinan suksesnya proses pelembagaan
menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila
efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil,
jalannya proses pelembagaan menjadi lancar.
Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi dalam masyarakat
pernah digambarkan oleh William I Thomas dan Florian Znaniecki dalam
karya klasiknya The Polish Peasant in Europe and America. Khusus tentang
disorganisasi dan reorganisasi, mereka membentangkan pengaruh dari
suatu masyarakat yang tradisional dan masyarakat yang modern terhadap
jiwa para anggotanya. Watak atau jiwa seseorang paling tidak merupakan
pencerminan kebudayaan masyarakat.
Pada masyarakat-masyarakat tradisional, aktivitas seseorang
sepenuhnya berada di bawah kepentingan masyarakatnya. Segala sesuatu
didasarkan pada tradisi dan setiap usaha untuk mengubah satu unsur saja.
Itu berarti bahwa sedang ada usaha untuk mengubah struktur masyarakat
seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci, tak dapat diubah-ubah
dengan drastis dan berjalan lambat sekali. Perubahan dari suatu
masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern akan mengakibatkan
pula perubahan dalam jiwa setiap anggota masyarakat.
Thomas dan Znaniecki menggambarkan betapa para petani Polandia yang
pindah dari Eropa ke Amerika mengalami disorganisasi karena di tempat
asalnya, mereka merupakan bagian dari masyarakat yang tradisional dan di
Amerika mereka berhadapan dengan masyarakat modern yang mempunyai pola
kehidupan yang berbeda. Timbullah disorganisasi, misalnya dalam keluarga
batih. Orang tua di Eropa mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap
anak-anaknya, tetapi di Amerika kekuasaan tadi menjadi pudar dan
melemah. Dan dalam reorganisasi, timbullah norma-norma baru yang
mengatur hubungan antara orang tua dengan anak-anak.
Sumber : http://infosos.wordpress.com/2012/03/21/perubahan-sosial/