Senin, 09 April 2012

Perubahan Organisasi Sosial

TUGAS 8

A. Pengertian, Teori dan Bentuk Perubahan Sosial
Setiap saat masyarakat selalu mengalami perubahan. Jika dibandingkan apa yang tejadi saat ini dengan beberapa tahun yang lalu. Maka akan banyak ditemukan perubahan baik yang direncanakan atau tidak, kecil atau besar, serta cepat atau lambat. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan sosial yang ada. Dimana manusia selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu manusia selalu mencari sesuatu agar hidupnya lebih baik.
Sebagai contoh kasus, dahulu keluarga sepenuhnya berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anak-anak yang belum dewasa, sumber pengetahuan (pendidikan) dan keterampilan serta sumber ekonomi. Namun, pada masa sekarang, fungsi keluarga mengalami perubahan. Anak-anak tidak hanya memperoleh pengetahuan dari keluarga, tetapi juga melalui berbagai media massa, seperti televisi, radio, koran dan internet.

1. Pengertian Perubahan Sosial
Ada beberapa ahli sosiologi yang memberikan definisi perubahan sosial, antara lain.
a. J.L Gillin dan J.P Gillin
Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang diterima, akibat adanya perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, kompoisisi penduduk, ideologi, maupun karena difusi dan penemuan baru dalam masyarakat.
b. Kingsley Davis
Mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik.
c. William F Ogburn
Mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
d. Selo Soemardjan
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
e. Samuel Koening
Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
f. Mac Iver
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan lembaga sosial masyarakat. Perubahan sosial meliputi perubahan dalam berbagai hal, seperti perubahan teknologi, perilaku, sistem sosial dan norma. Perubahan tersebut mempengaruhi individu dalam masyarakat tertentu.
2. Teori-teori Perubahan Sosial
a. Hukum Tiga Tahap (Auguste Comte)
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik dan positif.
Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat (pengetahuan absolut) mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraktsi-abstaksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah bahwa kita akan menjelaskan suatu gejala alam seperti angin taufan. Dalam tahap teologis, gejala serupa itu akan dijelaskan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang Dewa angin atau Tuhan. Dalam tahap metafisik gejala yang sama itu akan dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah. Dalam tahap positif angin taufan itu akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembaban, dan suhu – semua variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu Yang Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris daripada kemutlakan metafisik.
b. Teori Siklus Pitirim Sorokin
Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial; artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja; sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.
Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja; dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan intelektual manusia.
Tipe-tipe Mentalitas Budaya
Menurut Sorokin, kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah mentalitas budaya-nya. Konsep ini mengacu pada pandangan dunia (world view) dasar yang merupakan landasan sistem sosio-budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem sosio-budaya merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan terakhir (merupakan pertanyaan tentang apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia). Ada tiga jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu.
• Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya dari dunia materil yang kita alami dengan indera (tidak ada kehidupan lain setelah dunia).
• Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingat keberadaan yang melampaui dunia materil ini: artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden (gaib) dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan indera kita.
• Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materil dan dunia transenden.
Sehubungan dengan pertanyaan ini ada beberapa pertanyaan tambahan yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan ini harus mencakup apakah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual; luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi; dan apakah pemenuhan kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri (sehingga kebutuhan itu sendiri dikurangi) atau penyesuaian lingkungan (sehinggat kebutuhan itu dapat dipenuhi).
Atas dasar itu, Sorokin menyebutan tiga mentalitas budaya dan beberapa tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem sosio-budaya yang berbeda-beda itu.
1) Kebudayaan Ideasional
Tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementera dan tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Ilahi, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah kedalam beberapa bagian:
a) Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden
b) Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden
2) Kebudayaan Inderawi (sensate culture)
Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut:
a) Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.
b) Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi parasit”, dengan motto, “makan, minum dan kawinlah, karena besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.
c) Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawi/jasmaniah dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.
3) Kebudayaan campuran
Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis) mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:
a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan.
b. Kebudayaan ideasional tiruan (Pseudo ideasional culture). Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.
c. Teori Cultural Lag William F Ogburn
Konsep ketertinggalan budaya (Cultural lag) dikemukakan oleh William F Ogburn. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan nonmateril.
Jelas hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan nonmateril.
Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan materil. Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan awal seperti roda dan perkakas sampai ke komputer dan satelit-satelit komunikasi. Kebudayaan nonmateril seperti – kebiasaan, tata cara, pola organisasi sosial – akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil tetapi karena adanya pelbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian itu selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil. Hasilnya adalah ketegangan antara kebudayaan materil dan kebudayaan nonmateril.
Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus-menerus pada perkembangan teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu “mengejar”, karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju. Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat ditelusuri pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional untuk mengikuti kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.
3. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial
a. Perubahan Lambat dan perubahan cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat dinamakan evolusi. Perubahan pada evolusi terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi, yang pada umumnya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1) Unilinear theories of evolution
Teori ini pada pokoknya berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk yang sederhana, kemudian bentuk yang kompleks sampai pada tahap yang sempurna. Pelopor teori ini adalah Auguste Comte.
2) Universal theory of evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-tahap tertetu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu. Prinsip-prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer yang antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen baik sifat maupun susunannya.
3) Multilinier theories of evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap pekembangan tertentu dalam evolusi masyarakat, misalnya, mengadakan penelitian perihal pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian, terhadap sistem kekeluargaan dalam masyarakat yang bersangkutan dan seterusnya
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakat) dinamakan revolusi. Unsur-unsur pokok revolusi adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinakan revolusi, sebenarnya bersifat relatif karena revolusi dapat memakan waktu yang lama.
Misalnya revolusi industri di Inggris, di mana perubahan-perubahan terjadi dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat karena mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti sistem kekeluargaan, hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya.
b. Perubahan kecil dan perubahan besar
Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas karena batas-batas pembedaannya agak relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian misalnya, tak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya proses industrialisasi yang berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja, sistem milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi masyarakat dan seterusnya.
c. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan perencanaan sosial (social planning).
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang besarnya terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki. Dengan demikian, keadaan tersebut tidak mungkin diubah tanpa mendapat halangan-halangan dari masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan yang dikehendaki diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali terjadi perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling mempengaruhi.
d. Perubahan Progres dan Perubahan Regres
Perubahan progres yaitu perubahan yang membawa kemajuan bagi masyarakat. Perubahan ini akan membawa keberuntungan terhadap kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan tersebut. Misalnya dengan adanya listrik masuk desa, maka banyak terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat baik dalam bidang transportasi, komunikasi, hiburan, kemajuan ekonomi, dan sebagainya.
Perubahan regres, yaitu perubahan yang membawa pengaruh kurang menguntungkan bagi masyarakat sehubngan dengan bidang-bidang tertentu. Misalnya, perubahan dalam sistem komunikasi di desa akan mengakibatkan berkurangnya intensitas hubungan masyarakat.
B. Faktor Penyebab Perubahan Sosial
Terjadinya perubahan dalam masyarakat, pada prinsipnya berasal dari sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dan mudah bosan dengan keadaan yang dialaminya. Perubahan sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendri (internal) atau faktor-faktor yang berasl dari luar masyarakat (eksternal).
1. Faktor Internal
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk
Pertambahan penduduk yang sangat cepat di pulau Jawa menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga kemasyarakatannya. Misalnya orang lantas mengenal hak milik individu atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan seterusnya yang sebelumnya tidak dikenal.
Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan.
b. Penemuan-penemuan baru
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi atau innovation. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar ke lain-lain bagian masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan menjadi discovery dan invention. Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu. Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru itu. Sering kali proses dari discovery sampai ke invention membutuhkan suatu rangkaian penciptaan. Penemuan mobil, misalnya, dimulai dari usaha seorang Austria, yaitu S. Marcus (1857) yang membuat motor gas yang pertama. Sebetulnya sistem motor gas tersebut juga merupakan suatu hasil dari rangkaian ide yang telah dikembangkan sebelum Marcus. Sungguhpun demikian, Marcuslah yang telah membulatkan penemuan tesebut, dan yang untuk pertama kali menghubungkan motor gas dengan sebuah kereta sehingga dapat berjalan tanpa ditarik seekor kuda. Itulah saatnya mobil menjadi suatu discovery.
Jadi, 30 tahun kemudian sesudah suatu rangkaian sumbangan dari sekian banyak pencipta lain yang menambah perbaikan mobil tersebut, barulah sebuah mobil dapat mencapai suatu bentuk sehingga dapat dipakai sebagai alat pengangkutan oleh manusia dengan cukup praktis dan aman. Bentuk mobil semacam itu yang mendapat paten di Amerika Serikat 1911 dapat disebut sebagai permulaan dari kendaraan mobil yang pada masa sekarang menjadi salah satu alat yang amat penting dalam kehidupan masyarakat manusia. Dengan tercapainya bentuk tersebut, kendaraan mobil menjadi suatu invention.
Pada saat menjadi invention, proses inovasi belum selesai. Sungguhpun kira-kira sesudah 1911 produksi mobil dimulai, mobil masih belum dikenal oleh seluruh masyarakat. Penyebaran alat pengangkutan tersebut masih harus disebarluaskan kepada khalayak ramai. Selain itu biaya produksi mobil demikian tingginya sehingga hanya suatu golongan kecil saja yang dapat membelinya. Satu persoalan lain yang juga harus dihadapi adalah apakah masyarakat sudah siap menerimanya karena misalnya diperlukan pembuatan jalan-jalan raya yang baru. Seluruh proses tersebut merupakan rangkaian proses inovasi dari sebuah mobil.
Penemuan-penemuan baru dalam kebudayaan jasmaniah atau kebendaan menunjukkan adanya berbagai macam pengaruh pada masyarakat. Pertama-tama, pengaruh suatu penemuan baru tidak hanya terbatas pada satu bidang tertentu saja, tetapi ia sering kali meluas ke bidang-bidang yang lainnya. Misalnya penemuan radio menyebabkan perubahan-perubahan dalam lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, agama, pemerintahan, rekreasi dan seterusnya, seperti yang terlihat ada gambar berikut ini.
Kemungkinan lain adalah perubahan-perubahan yang menjalar dari satu lembaga kemasyarakatan ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Penemuan baru kapal terbang membawa pengaruh pada metode peperangan, yang kemudian kian memperdalam perbedaan antara negara-negara besar dengan negara-negara kecil.
Beberapa jenis penemuan baru dapat pula mengakibatkan satu jenis perubahan sebagai berikut. Misalnya penemuan mobil, kereta api, telepon dan sebagainya menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di daerah pinggiran kota yang dinamakan suburb.
c. Pertentangan (conflict) masyarakat
Pertentangan masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara individu-individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya.
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Revolusi yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar Negara Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan absolut berubah menjadi diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih, mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
2. Faktor Eksternal
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
a. Lingkungan fisik
Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. Terjadinya gempa bumi, topan, banjir dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya.
b. Peperangan
Peperangan selalu berdampak pada tingginya angka kematian, rusaknya berbagai sarana dan prasarana kebutuhan hidup sehari, hari, terjadinya kekacauan ekonomi dan sosial, serta tergoncangnya mental penduduk sehingga merasa frustrasi dan tidak berdaya.
c. Pengaruh kebudayaan lain
Apabila sebab-sebab perubahan bersumber pada masyarakat lain, itu mungkin terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik. Artinya, masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain itu.
Namun apabila hubungan tersebut berjalan melalui alat-alat komunikasi massa, ada kemungkinan pengaruh itu hanya datang dari satu pihak saja, yaitu dari masyarakat pengguna alat-alat komunikasi tersebut. Sementara itu, pihak lain hanya menerima pengaruh tanpa mempunyai kesempatan memberikan pengaruh balik. Apabila pengaruh dari masyarakat tersebut diterima tidak karena paksaan, hasilnya dinamakan demonstration effect.
Di dalam pertemuan dua kebudayaan tidak selalu akan terjadi proses saling mempengaruhi. Kadangkala pertemuan dua kebudayaan yang seimbang akan saling menolak. Keadaan semacam itu dinamakan cultural animosity. Namun, apabila salah satu dari dua kebudayaan yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah proses imitasi, yaitu peniruan terhadap unsur-unsur kebudayaan lain.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Perubahan Sosial
Perubahan sosial dan kebudayaan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tediri dari faktor-faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat terjadinya perubahan sosial.
1. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan
a. Kontak dengan kebudayaan lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut, manusia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Ada dua tipe difusi, yaitu pertama difusi intramasyarakat dan kedua difusi antarmasyarakat. Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan memberikan aneka macam kemampuan kepada individu. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah.
b. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju
Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat, masyarakat merupakan pendorong bagi usaha-usaha penemuan baru.
c. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik
d. Sistem pelapisan sosial yang terbuka. Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas atau berarti memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri.
e. Penduduk yang heterogen.
f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
g. Orientasi ke masa depan.
h. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
2. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan
Adapun faktor-faktor yang menghambat tejadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup
g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis
h. Adat atau kebiasaan
i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
D. Proses-Proses Perubahan Sosial Dan Kebudayaan:
1. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Setiap kali terjadi gangguan terhadap keadaan keserasian, masyarakat dapat menolaknya atau mengubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatannya dengan maksud menerima unsur yang baru.
Adakala unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula pada warga masyarakat. Itu berarti adanya gangguan yang kontinu terhadap keserasian masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan di antara para warga tidak mempunyai saluran pemecahan. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan, keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjusment). Bila sebaliknya yang terjadi, maka dinamakan ketidakpenyesuaian sosial (maladjustment).
2. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama dan seterusnya. Lembaga kemasyarakat yang menjadi titik tolak perubahan tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung menjadi saluran utama perubahan sosial dan kebudayaan.
3. Disorganisasi (disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)
Disorganisasi atau disintegrasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara itu, reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.
Adapun gejala-gejala yang menyebabkan disintegrasi sosial adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya persepsi atau persamaan pandangan di antara anggota masyarakat yang semula dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat.
b. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik.
c. Ada pertentangan norma-norma dalam masyarakat.
d. Tidak ada sanksi yang tepat bagi pelanggar norma.
e. Tindakan-tindakan dalam masyarakat sudah tidak lagi sesuai dengan norma-norma masyarakat.
f. Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses sosial yang disosiatif.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah melembaga dalam diri warga masyarakat. Berhasil atau tidaknya proses pelembagaan tersebut dalam masyarakat mengikuti formula sebagai berikut. Efektifitas menanam merupakan hasil positif penggunaan tenaga manusia, alat, organisasi dan metode di dalam menanamkan lembaga baru. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, alat-alat yang dipakai dan sistem penanaman sesuai dengan kebudayaan masyarakat makin besar pula hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu.
Akan tetapi, setiap usaha untuk menanam sesuatu unsur yang baru pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa dirugikan. Kekuatan menentang masyarakat, itu mempunyai pengaruh negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan menentang masyarakat besar, kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil, jalannya proses pelembagaan menjadi lancar.
Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi dalam masyarakat pernah digambarkan oleh William I Thomas dan Florian Znaniecki dalam karya klasiknya The Polish Peasant in Europe and America. Khusus tentang disorganisasi dan reorganisasi, mereka membentangkan pengaruh dari suatu masyarakat yang tradisional dan masyarakat yang modern terhadap jiwa para anggotanya. Watak atau jiwa seseorang paling tidak merupakan pencerminan kebudayaan masyarakat.
Pada masyarakat-masyarakat tradisional, aktivitas seseorang sepenuhnya berada di bawah kepentingan masyarakatnya. Segala sesuatu didasarkan pada tradisi dan setiap usaha untuk mengubah satu unsur saja. Itu berarti bahwa sedang ada usaha untuk mengubah struktur masyarakat seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci, tak dapat diubah-ubah dengan drastis dan berjalan lambat sekali. Perubahan dari suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern akan mengakibatkan pula perubahan dalam jiwa setiap anggota masyarakat.
Thomas dan Znaniecki menggambarkan betapa para petani Polandia yang pindah dari Eropa ke Amerika mengalami disorganisasi karena di tempat asalnya, mereka merupakan bagian dari masyarakat yang tradisional dan di Amerika mereka berhadapan dengan masyarakat modern yang mempunyai pola kehidupan yang berbeda. Timbullah disorganisasi, misalnya dalam keluarga batih. Orang tua di Eropa mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap anak-anaknya, tetapi di Amerika kekuasaan tadi menjadi pudar dan melemah. Dan dalam reorganisasi, timbullah norma-norma baru yang mengatur hubungan antara orang tua dengan anak-anak.

Sumber : http://infosos.wordpress.com/2012/03/21/perubahan-sosial/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar